Sehari berinteraksi dengan para penenun tradisional di desa ini adalah sebuah perjalanan waktu, menyelami proses kreatif yang telah diwariskan turun-temurun, dan menyaksikan keuletan tangan-tangan yang mampu mengubah benang menjadi karya seni bernilai tinggi. Perjalanan ini bukan sekadar wisata, melainkan sebuah pengalaman mendalam yang menghubungkan kita dengan akar budaya Indonesia.
Pagi hari, udara sejuk khas pegunungan Lombok menyambut kedatangan kami di Pringgasela. Rumah-rumah tradisional dengan atap joglo yang khas berdiri kokoh, berjejer rapi di sepanjang jalan setapak. Suasana tenang dan damai menyelimuti desa, kontras dengan hiruk-pikuk kehidupan perkotaan. Kami disambut oleh Ibu Aminah, seorang penenun berpengalaman yang telah menekuni profesinya selama lebih dari empat puluh tahun. Wajahnya yang ramah dan tangannya yang cekatan menjadi cerminan dari dedikasi dan kecintaannya pada warisan budaya leluhurnya.
Rumah Ibu Aminah, seperti rumah-rumah lainnya di desa ini, sederhana namun sarat dengan makna. Ruangan utama yang sekaligus menjadi tempat bertenun, dipenuhi oleh alat-alat tenun tradisional yang terbuat dari kayu jati. Alat-alat ini, yang telah digunakan turun-temurun, menceritakan sejarah panjang proses pembuatan kain tenun Pringgasela. Ada gelondongan benang kapas yang telah dipintal dengan teliti, benang sutra yang berkilauan, dan berbagai macam alat bantu seperti suku, pesawat tenun bukan mesin (ATBM), dan pisau kecil untuk memotong benang. Semuanya tertata rapi, menunjukkan keteraturan dan kedisiplinan yang melekat dalam budaya masyarakat Pringgasela.
Ibu Aminah dengan sabar menjelaskan setiap tahapan proses pembuatan kain tenun. Mulai dari pemilihan bahan baku, pemintalan benang, pencelupan, hingga penenunan itu sendiri. Proses ini, yang tampak sederhana, sebenarnya membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang luar biasa. Memintal benang kapas saja, misalnya, membutuhkan waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari, bergantung pada jumlah benang yang dibutuhkan. Begitu pula dengan proses pencelupan, yang memerlukan pengetahuan khusus tentang pewarna alami dan teknik pencelupan agar menghasilkan warna yang diinginkan.
Pewarna alami yang digunakan oleh para penenun Pringgasela berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sekitar desa. Indigofera tinctoria untuk warna biru, kunyit untuk warna kuning, dan kulit kayu untuk warna cokelat. Penggunaan pewarna alami ini tidak hanya ramah lingkungan, tetapi juga memberikan warna yang unik dan khas pada kain tenun Pringgasela. Warna-warna tersebut, yang dihasilkan dari alam, memiliki nuansa yang lebih lembut dan alami dibandingkan dengan pewarna kimia. Proses pencelupan sendiri merupakan sebuah seni, karena membutuhkan keahlian khusus untuk mendapatkan warna yang merata dan tahan lama.
Setelah proses pemintalan dan pencelupan selesai, tahapan selanjutnya adalah penenunan. Di sinilah keuletan dan keterampilan para penenun benar-benar diuji. Dengan menggunakan ATBM, Ibu Aminah dengan cekatan menggerakkan alat tenun, menjalin benang demi benang dengan presisi tinggi. Gerakan tangannya begitu lincah, seakan tanpa beban. Padahal, proses penenunan ini membutuhkan konsentrasi dan ketelitian yang tinggi, karena satu kesalahan kecil saja dapat merusak seluruh kain.
Kami berkesempatan untuk mencoba menenun sendiri. Tentu saja, kami tidak dapat menyamai kecepatan dan ketepatan Ibu Aminah. Tangan kami terasa kaku dan gerakan kami terasa lambat. Namun, pengalaman ini memberikan kami pemahaman yang lebih mendalam tentang betapa sulit dan rumitnya proses pembuatan kain tenun. Kami merasakan betapa berharganya karya seni yang dihasilkan oleh para penenun tradisional.
Sepanjang hari, kami berbincang-bincang dengan Ibu Aminah dan para penenun lainnya. Mereka bercerita tentang sejarah tenun Pringgasela, tantangan yang mereka hadapi, dan harapan mereka untuk masa depan. Mereka mengatasi tantangan modernisasi dengan tetap mempertahankan teknik dan motif tradisional. Meskipun ada ancaman dari produk-produk tekstil modern, mereka tetap berpegang teguh pada keunikan dan kualitas kain tenun Pringgasela.
Motif-motif tenun Pringgasela sangat beragam, masing-masing memiliki makna dan cerita tersendiri. Ada motif geometris yang sederhana, ada pula motif floral yang rumit dan detail. Motif-motif ini merepresentasikan kehidupan, kepercayaan, dan alam sekitar masyarakat Pringgasela. Setiap motif memiliki sejarahnya sendiri, yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Menjelang sore hari, kami meninggalkan rumah Ibu Aminah dengan hati yang penuh kekaguman dan rasa hormat. Sehari bersama para penenun tradisional Pringgasela memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Kami tidak hanya melihat proses pembuatan kain tenun, tetapi juga mengenal kehidupan, keuletan, dan semangat para penenun yang menjaga warisan budaya Indonesia. Mereka adalah penjaga sejarah, penjaga seni, dan penjaga identitas bangsa. Kain tenun Pringgasela bukan sekadar kain, tetapi sebuah karya seni yang menceritakan kisah panjang perjuangan dan kearifan lokal. Melestarikan warisan ini adalah tanggung jawab kita bersama, agar karya seni yang indah ini tetap bersinar dari generasi ke generasi. Semoga desa Pringgasela dan para penenunnya tetap berjaya dan terus menginspirasi. Kain tenun Pringgasela, sebuah perpaduan antara seni dan budaya yang patut dihargai dan dilestarikan.